BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Ketika gelombang demokrasi melanda dunia di awal abad ke 19,
pembicaraan mengenai perluasan keterlibatan rakyat dalam proses politik semakin
penting. Apalagi setelah bubarnya salah satu negara adidaya yaitu Uni Soviet, yang
diikuti dengan tercerai berainya persekutuan negara – negara blok Timur, posisi
rakyat dalam ikut menentukan kepemimpinan politik kembali mendapat perhatian.
Salah satu perwujudan keterlibatan rakyat dalam proses
politik adalah pemilihan umum. Pemilu merupakan sarana bagi rakyat untuk ikut
menentukan figure dan arah kepemimpinan negara dalam periode waktu tertentu.
Ide demokrasi yang menyebutkan bahwa dasar penyelenggaraan negara adalah
kehendak rakyat merupakan dasar bagi penyelenggaraan pemilu. Maka ketika
demokrasi mendapatkan perhatian yang luas dari masyarakat dunia,
penyelenggaraan pemilu yang demokratis menjadi syarat penting dalam pembentukan
kepemimpinan sebuah negara.
Pemilu memiliki fungsi utama dalam hal sirkulasi elit yang
teratur dan ber-kesinambungan. Sebuah kepemimpinan yang lama tanpa dibatasi
periode tertentu, dapat menjurus pada pada kepemimpinan yang korup dan sewenang
– wenang. Banyak contoh dalam sejarah dunia yang memperlihatkan betapa
kekuasaan yang absolut, tanpa pergantian elit yang teratur dan
berkesinambungan, mengakibatkan daya kontrol melemah dan kekuasaan menjadi
korup dan sewenang-wenang.
Tetapi pemilu yang teratur dan berkesinambungan saja tidak
cukup untuk menghasilkan kepemimpinan yang benar-benar mendekati kehendak rakyat.
Pemilu merupakan sarana legitimasi bagi sebuah kekuasaan. Setiap penguasa,
betapapun otoriternya pasti membutuhkan dukungan rakyat secara formal untuk
melegitimasi kekuasaannya. Maka pemilu sering kali dijadikan alat untuk
pelegitimasian kekuasaan semata.
Cara termudah yang dilakukan adalah mengatur sedemikian rupa
teknis penyelenggaraan pemilu agar hasil dari pemilu memberi kemenangan mutlak
bagi sang penguasa dan partai politiknya. Pemilu merupakan icon demokrasi
yang dapat dengan mudah diselewengkan oleh penguasa otoriter untuk kepentingan
melanggengkan kekuasaannya. Maka selain teratur dan ber-kesinambungan, masalah
system atau mekanisme dalam penyelenggaraan pemilu adalah hal penting yang
harus diperhatikan.
B.
Tujuan
dan Manfaat
Tujuan kami
membuat makalah ini adalah sebagai bukti bahwa, kami sanggup menyelesaikan
tugas yang di berikan oleh dosen pengampu mata kuliah pancasila.Selain itu di
buat nya makalah ini bertujuan agar pembaca dapat lebih memahami mengenai
pemilu.
Manfaat dengan antara makalah ini
antara lain :
a. Dapat
di jadikan sumber acuan wawasan mengenai pemilu oleh pembaca
b. Mengetahui
lebih dalam mengenai sistem dan konsep pemilu di Indonesia
c. Memberikan
suatu pandangan dan gambaran mengenai sejarah dan syarat-syarat pemilu yang
demokratis di Indonesia.
BAB II
PEMILU
A.
Definisi
Pemilu
Pengertian Pemilu Menurut UU No. 3 Tahun 1999 tentang
Pemilu. Pemilu adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat dalam negara
kesatuan RI yang berdasarkan Pancasila dan UUD. Pemilu adalah suatu proses di mana
para pemilih memilih orang-orang untuk mengisi jabatan-jabatan politik
tertentu. Jabatan-jabatan yang disini beraneka-ragam, mulai dari Presiden,
wakil rakyat di pelbagai tingkat pemerintahan, sampai kepala desa.
Dalam konteks lain Pemilihan
Umum (Pemilu) juga dapat diartikan sebagai proses
pemilihan orang-orang untuk mengisi jabatan-jabatan politik
tertentu.Jabatan-jabatan tersebut beraneka-ragam, mulai dari presiden, wakil rakyat di berbagai
tingkat pemerintahan, sampai kepala desa.Pada konteks
yang lebih luas, Pemilu dapat juga berarti proses mengisi jabatan-jabatan
seperti ketua OSIS atau ketua kelas, walaupun
untuk ini kata 'pemilihan' lebih sering digunakan. Pemilu merupakan salah satu
usaha untuk memengaruhi rakyat secara persuasif (tidak memaksa) dengan
melakukan kegiatan retorika, public relations, komunikasi
massa, lobby dan lain-lain kegiatan.
Meskipun
agitasi dan propaganda di Negara
demokrasi sangat dikecam, namun dalam kampanye pemilihan umum, teknik agitasi
dan teknik propaganda banyak juga dipakaioleh para kandidat atau politikus
selalu komunikator politik.
Dalam Pemilu,
para pemilih dalam Pemilu juga disebut konstituen, dan kepada merekalah para peserta
Pemilu menawarkan janji-janji dan program-programnya pada masa kampanye. Kampanye
dilakukan selama waktu yang telah ditentukan, menjelang hari pemungutan suara.
Setelah pemungutan suara dilakukan,
proses penghitungan dimulai. Pemenang Pemilu ditentukan oleh aturan main atau
sistem penentuan pemenang yang sebelumnya telah ditetapkan dan disetujui oleh
para peserta, dan disosialisasikan ke para pemilih.
B.
Sejarah Pemilu Di Indonesia
Pengalaman rakyat Indonesia dengan pemilu sudah berusia
lebih setengah abad. Pemilu pertama di awal kemerdekaan pada tahun 1955
tercatat dalam sejarah sebagai pemilu multipartai yang demokratis. Peserta
pemilu terdiri dari partai politik dan perseorangan, serta diikuti lebih dari
30 kontestan. Hasil pemilu 1955 memberikan cetak biru bagi konfigurasi pengelompokan
politik masyarakat yang tercermin dalam konfiguarsi elit. Setelah pemilu 1955,
pemilu berikutnya terjadi di era Orde Baru. Kelebihan pemilu-pemilu orde baru
keberkalaannya. Penguasa orde baru berhasil menyelenggarakan pemilu secara
teratur tiap lima tahun sekali. Tetapi kelemahan mendasarnya adalah
pemilu-pemilu orde baru diselenggarakan dengan tidak memenuhi persyaratan
sebuah pemilu yang demokratis. Harus diakui bahwa bpartisipasi politik rakyat
dalam mengikuti pemilu-pemilu Orde Baru sangat fantastis. Rata-rata
pemilu – pemilu orde baru diikuti oleh lebih dari 80 % pemilih, bahkan nyaris
mendekati 90 % pemilih. Sebuah tingkat partisipasi politik yang tidak dijumpai
di negaran kampiun demokrasi seperti inggris dan Amerika Serikat. Namun aturan
penyelenggaraan pemilu-pemilu tersebut memiliki cacat kronis.
Pertama, tidak ada kompetisi yang sehat dan adil diantara peserta
pemilu. Hal itu dilihat dari adanya undang – undang yang membatasi jumlah
partai peserta pemilu, yaitu hanya diikuti oleh 3 partai politik. Selain ketiga
partai politik tersebut tidak boleh ikut pemilu, bahkan tidak boleh ada partai
politik yang terbentuk selain ketia partai tersebut. (PPP, Golongan Karya,
PDIP).
Kedua, tidak ada kebebasan dan keleluasaan bagi pemilih untuk
mempertimbangkan dan menentukan pilihan-pilihannya. Secara sistematis, penguasa
orde baru menggunakan jalur birokrasi untuk memenangkan pemilu. Bahkan pada
pemilu 1971, Menteri Dalam Negeri ketika itu sempat membuat edaran agar pegawai
negeri memiliki loyalitas tunggal hanya pada pemerintah, yang diterjemahkan
sebagai loyal pada partai penguasa. Pegawai negeri dilarang terlibat dalam
partai politik, tetapi tidak dilarang jika terlibat dalam partai penguasa saat
itu.
Ketiga, penyelenggara pemilu adalah
pemerintah, terutama Departemen Dalam Negeri. Azas ketidakberpihakan
penyelenggara pemilu tidak terpenuhi karena pemerintah adalah bagian dari
partai berkuasa dan menjadi salah satu peserta pemilu pula. Dengan demikian
besar peluang untuk terjadinya kecurangan dalam mekanisme teknis pemilu, yang
tentu saja merugikan peserta pemilu lainnya (selain partai berkuasa).
Sehingga syarat kompetitif yang adil dan bebas tidak terpenuhi. Partai
berkuasa memiliki kesempatan untuk bersaing lebih baik dari pada partai-partai
oposisi. Hasilnya pun bisa diduga. Partai berkuasa selalu menang dengan
mayoritas mutlak, rata-rata memperoleh 80 % suara.
Pemilihan umum adalah merupakan konsep demokrasi politik
indonesia yang di gagas dan
dilangsungkan pada tahun 1955 pada jaman pemerintahan presiden pertama
indonesia Ir.Soekarno . acara pemilu ini di langsungkan setiap 5 tahun sekali.
Adapun pemilu yang pernah dilakukan di Indonesia yang lain seperti : pemilu
masa transisi dan pemilu tahun 2009, yang kesemuanya memiliki perbedaan
masing-masing.
1.
Pemilu Indonesia 1955
Pemilu indonesia tahun 1955
merupakan pemilu
Indonesia yg pertama dalam sejarah bangsa Indonesia. Waktu itu
Republik Indonesia berusia 10 tahun. Kalau dikatakan pemilu Indonesia merupakan syarat minimal bagi ada
demokrasi, apakah berarti selama 10 tahun itu Indonesia benar-benar tidak
demokratis? tak mudah juga menjawab pertaan tersebut.
Jelas, sebetul sekitar tiga
bulan setelah kemerdekaan dipro-klamasikan oleh Soekarno & Hatta pd 17
Agustus 1945, pemerintah waktu itu sudah mengatakan keinginan untuk bisa
menyelenggarakan pemilu Indonesia pada awal tahun 1946. Hal itu
dicantumkan dalam Maklumat X, atau Maklumat Wakil Presiden Muhammad Hatta
tanggal 3 Nopember 1945, yang berisi anjuran tentang pembentukan partai-partai
politik. Maklumat tersebut menyebutkan, pemilu Indonesia untuk memilih
anggota DPR dan MPR akan diselenggarakan bulan Januari 1946. Kemudian pemilu Indonesia
pertama tersebut baru terselenggara hampir sepuluh tahun kemudian.
Tetapi, berbeda dengan tujuan
yang dimaksudkan oleh Maklumat X, pemilu Indonesia 1955 dilakukan dua
kali. yang pertama, pada 29 September 1955 untuk memilih anggota-anggota DPR.
yang kedua, 15 Desember 1955 untuk memilih anggota-anggota Dewan Konstituante.
dalam Maklumat X, disebutkan bahwa pemilu Indonesia yang akan diadakan
Januari 1946 ialah untuk memilih angota DPR dan MPR, tidak ada Konstituante.
Keterlambatan dan
“penyimpangan” tersebut bukan tanpa sebab pula. Ada kendala yang bersumber dari
dalam negeri dan ada pula yang berasal dari faktor luar negeri. Sumber penyebab
dari dalam antara lain ketidaksiapan pemerintah menyelenggarakan pemilu, baik
karena belum tersedia perangkat perundang-undangan untuk mengatur
penyelenggaraan pemilu Indonesia maupun akibat rendah stabilitas keamanan
negara. Dan yg tak kalah penting, penyebab dari dalam itu ialah sikap
pemerintah yang enggan menyelenggarakan perkisaran (sirkulasi) kekuasaan secara
teratur dan kompetitif. Penyebab dari luar antara lain serbuan kekuatan asing
yang mengharuskan negara ini terlibat peperangan.
Tidak terlaksana pemilu Indonesia
pertama pada bulan Januari 1946 seperti yang diamanatkan oleh Maklumat 3
Nopember 1945, paling tidak disebabkan 2 (dua) hal :
1.1 Belum siap pemerintah baru, termasuk dalam penyusunan
perangkat UU Pemilu;
1.2 Belum stabilnya kondisi keamanan negara akibat konflik
internal antara kekuatan politik yang ada pada waktu itu, apalagi pada saat
yang sama gangguan dari luar juga masih mengancam. Dengan kata lain para
pemimpin lebih disibukkan oleh urusan konsolidasi.
Namun, tidaklah berarti bahwa selama masa
konsolidasi kekuatan bangsa dan perjuangan mengusir penjajah itu, pemerintah
kemudian tidak berniat untuk menyelenggarakan pemilu. Ada indikasi kuat bahwa
pemerintah pun berkeinginan politik untuk menyelenggarakan pemilu. Misal ialah
dibentuk UU No. UU No. 27 tahun 1948 tentang Pemilu, yang kemudian diubah
dengan UU No. 12 thn 1949 tentang Pemilu. Di dalam UU No 12/1949 diamanatkan bahwa
pemilihan umum yang akan dilakukan ialah bertingkat (tak langsung). Sifat
pemilihan tidak langsung ini didasarkan pada alasan bahwa mayoritas warga
negara Indonesia pada waktu itu masih buta huruf, sehingga kalau pemilihan
langsung dikhawatirkan akan banyak terjadi distorsi.
Kemudian pada tengah kedua tahan 1950, ketika
Mohammad Natsir Dr.Masyumi menjadi perdana Menteri, pemerintah memutuskan untuk
menjadikan pemilu sebagai program kabinet. Sejak itu pembahasan UU pemilu Indonesia
mulai dilakukan lagi, yg dilakukan oleh Panitia Sahardjo dari Kantor Panitia
Pemilihan Pusat sebelum kemudian dilanjutkan ke parlemen. pada waktu itu
Indonesia kembali menjadi negara kesatuan, setelah sejak 1949 menjadi negara
serikat dengan nama Republik Indonesia Serikat (RIS).
Setelah Kabinet Natsir jatuh 6 bulan kemudian,
pembahasan RUU Pemilu dilanjutkan oleh pemerintahan Sukiman Wirjosandjojo, juga
Dr.Masyumi. Pemerintah ketika itu berupaya menyelenggarakan pemilu Indonesia
karena pasal 57 UUDS 1950 metakan bahwa anggota DPR dipilih oleh rakyat melalui
pemilihan umum.
Tetapi pemerintah Sukiman juga tidak berhasil
menuntaskan pembahasan undang-undang pemilu Indonesia tersebut. Selanjut
UU ini baru selesai dibahas oleh parlemen pada masa pemerintahan Wilopo dari
PNI pada tahun 1953. Maka lahirlah UU No. 7 tahan 1953 tentang Pemilu. UU
inilah yang mejadi payung hukum pemilu Indonesia 1955 yang
diselenggarakan secara langsung, umum, bebas dan rahasia. Dengan demikian UU
No. 27 thn 1948 tentang Pemilu yang diubah dengan UU No. 12 thn 1949 yang
mengadopsi pemilihan bertingkat (tak langsung) bagi anggota DPR tidak berlaku
lagi.
Patut dicatat dan dibanggakan
bahwa pemilu
Indonesia yang pertama kali tersebut berhasil diselenggarakan
dengan aman, lancar, jujur dan adil serta sangat demokratis. pemilu Indonesia
1955 bahkan mendapat pujian dari berbagai pihak, termasuk dari negara-negara
asing. pemilu
Indonesia ini diikuti oleh lebih 30-an partai politik dan lebih
dari seratus daftar kumpulan dan calon perorangan. yang menarik dari pemilu Indonesia 1955 ialah tinggi
kesadaran berkompetisi secara sehat. Misal, meski yang mejadi calon anggota DPR
ialah perdana menteri dan menteri yang sedang memerintah, mereka tidak
menggunakan fasilitas negara dan otoritas kepada pejabat bawahan untuk menggiring
pemilih yang belangsung saat itu.
2.
Pemilu Masa Transisi
Pemilu
pada masa transisi berlangsung ketika menunggu kesempatan untuk berkiprah
kembali dalam pentas politik. Setelah berakhirnya secara formal kekuasaan Orde
Baru, Indonesia memasuki periode peralihan dari situasi otoriter ke transisi
demokrasi. Pengalaman banyak negara menunjukkan bahwa periode transisi
demokrasi umumnya memakan waktu lama, sampai satu atau dua dekade tergantung
dari intensitas transisi yang berakibat pada perubahan mendasar dalam sistem
politik dan juga sistem ekonomi. Tak terkecuali bagi Indonesia.
Perubahan
itu diawali dengan penyelenggaraan pemilu sebagai mekanisme demokratis untuk
melakukan sirkulasi elit. Pejabat lama yang tidak dipercaya perlu diganti
dengan pejabat baru yang dapat lebih dipercaya dan accountable melalui pemilu
yang demokratis. Pemilu yang dilaksanakan pada masa transisi adalah pemilu yang
strategis karena merupakan sarana untuk membersihkan elemen otoriterisme dalam
kekuasaan secara evolutif. Pemilu masa transisi juga menjadi sarana bagi
pemikiran – pemikiran, gagasan – gagasan atau kader – kader baru yang segar dan
tidak koruptif ke dalam lingkar kekuasaan. Jika pemilu masa transisi
berhasil melembagakan proses sirkulasi elit secara demokratis, maka situasi
transisi akan berubah menuju konsolidasi demokrasi. Sementara jika tidak
berhasil, maka ada peluang besar bagi elemen otoriterisme untuk menkonsolidasi
diri.
Oleh
karena itu, mengingat arti penting pemilu pada masa transisi, terutama pemilu
2004 yang lalu, maka semua penggerak demokrasi serta warga yang peduli akan
tercapainya konsolidasi demokrasi di Indonesia, perlu meneguhkan komitmen untuk
menjaga Pemilu 2004 agar dapat menjadi batu loncatan ke arah pemilu selanjutnya
yang diharapkan lebih demokratis. Walaupun diakui pula bahwa perangkat UU
Pemilu, Partai Politik dan aturan pemilu lainnya yang dihasilkan DPR masih
belum sempurna dan mengandung sejumlah permasalahan. Sebaliknya, tanpa
keberhasilan mengawal Pemilu 2004, maka sulit mengharapkan pemilu selanjutnya
dapat memberikan hasil yang lebih baik bagi terjadinya sirkulasi elit dan
pelembagaan demokrasi.
3. Pemilu 2009
Dalam Pemilu, para pemilih dalam Pemilu juga disebut
konstituen, dan kepada merekalah para peserta Pemilu menawarkan janji-janji dan
program-programnya pada masa kampanye. Kampanye dilakukan selama waktu yang
telah ditentukan, menjelang hari pemungutan suara. Setelah pemungutan
suara dilakukan, proses penghitungan dimulai. Pemenang Pemilu ditentukan
oleh aturan main atau sistem penentuan pemenang yang sebelumnya telah
ditetapkan dan disetujui oleh para peserta, dan disosialisasikan ke para
pemilih.
Pemilihan Umum 2009 di Indonesia itu membuka mata dunia
bahwa demokrasi dapat tumbuh dan berkembang dengan baik di Indonesia. Selain sebagai
negara Muslim terbesar di dunia dan negara demokrasi terbesar ketiga di dunia,
Pemilu di Indonesia juga harus melakukan pemilihan terhadap ribuan calon
legislatif dan menyelenggarakan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara
langsung.
Pelaksanaan Pemilihan Umum 2009 di Indonesia itu membuka
mata dunia bahwa Islam dan demokrasi dapat tumbuh dan berkembang dengan baik di
Indonesia. Seperti halnya pemerintah Amerika Serikat dan pemantau Pemilu Uni
Eropa untuk Indonesia, The Carter Center pun memuji pelaksanaan Pemilu di
Indonesia yang jujur, bersih, demokratis dan tenang, Pemilu dilaksanakan secara
transparan dan jujur.
Meskipun Pemilu 2009 yang dilaksanakan oleh KPU ini masih
banyak kekurangan di sana-sini, sebagaimana dilaporkan dalam temuan-temuan para
pemantau Pemilu dari dalam dan luar negeri, namun sejauh kekurangan tersebut
tidak signifikan dan tidak terlalu prinsipil maka pujian dan ucapan selamat
dari berbagai pihak kepada bangsa Indonesia merupakan cermin dari keberhasilan
KPU dan bangsa Indonesia secara umum.
Dalam pemilu 2009 akan berbeda dengan pemilu-pemilu
sebelumnya, karena dalam pemilu ini lebih akurat dan terprogram.
Ada
7 (tujuh) tugas berat Pemilu 2009 menanti anggota KPU yaitu :
- Merencanakan program, anggaran serta menetapkan jadwal Pemilu;
- Penyesuaian struktur organisasi dan Tata Kerja Sekretariat Jenderal KPU paling lambat 3 bulan sejak pelantikan anggota KPU;
- Mempersiapkan pembentukan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) paling lambat 5 (lima) bulan setelah pelantikan anggota KPU;
- Bersama-sama Bawaslu menyiapkan kode etik, paling lambat 3 (tiga) bulan setelah Bawaslu terbentuk;
- Memverifikasi secara administratif dan faktual serta menetapkan peserta Pemilu;
- Memutakhirkan data pemilih berdasarkan data kependudukan dan menetapkannya sebagai daftar pemilih tetap;
- Menetapkan standar serta kebutuhan pengadaan dan pendistribusian perlengkapan barang dan jasa Pemilu.
Dalam pemilu indonesia 2009 terdapat parpol-parpol baru yang
mengikuti pemilihan umum, dalam parpol-parpol yang mengikuti terdiri atas
parpol lama dan parpol baru. Ada pun rinciannya di bawah ini.
Berikut
ini nomor urut dan nama parpol pemilu 2009, yaitu :
1.
Partai
Hati Nurani Rakyat (HANURA)
2.
Partai
Kebangkitan Peduli Bangsa (PKPB)
3.
Partai
Pengusaha dan Pekerja Indonesia (P-PPI)
4.
Partai
Peduli Rakyat Nasional (PPRN)
5.
Partai
gerakan Indonesia Raya (GERINDRA)
6.
Partai
Barisan Nasional
7.
Partai
Keadilan Persatuan Indonesia (PKPI)
11.
Partai
Kedaulatan
14.
Partai
Pemuda Indonesia
15.
Partai
Nasionalisme Indonesia-Marhaenisme (PNI-Marhaenisme)
19.
Partai
Penegak Demokrasi Indonesia
20.
Partai
Demokrasi Kebangsaan
21.
Partai
Republika Nusantara (RepublikaN)
22.
Partai
Pelopor
26.
Partai
Nasional Benteng Kemerdekaan Indonesia (PNBKI)
30.
Partai Patriot
32.
Partai
Kasih Demokrasi Indonesia (PKDI)
33.
Partai
Indonesia Sejahtera (PIS)
34.
Partai
Kebangkitan Nasional Ulama (PKNU)
Dari
34 partai politik tersebut, terdapat 16
parpol lama dan 18 parpol baru yaitu:
Parpol lama :
(PAN
– PBR – PBB – PDS – PDIP – PDK – PD – Golkar – PKPB – PKPI – PKS – PKB -PNI
marhaenisme – P Pelopor – PPDI – PPP)
parpol baru :
(Partai
Barnas – PDP – Gerindra – Hanura – PIS – PKP – PKDI – PKNU – P Kedaulatan – PMB
– PNBK – P Patriot – PBRN – PPI – PPPI – PPIB – PPD – PRN).
C.
Sistem Pemilu
Dieter Nohlen mendefinisikan sistem pemilihan umum dalam 2
pengertian, dalam arti luas dan dalam arti sempit. Dalam arti luas, sistem
pemilihan umum adalah “….segala proses yang berhubungan dengan hak pilih,
administrasi pemilihan dan perilaku pemilih." Lebih lanjut Non-Pemilihan
Umum adalah metode yang di dalamnya suara-suara yang diperoleh dalam pemilihan
diterjemahkan menjadi kursi-kursi yang dimenangkan dalam parlemen oleh
partai-partai dan para kandidat. Pemilihan umum merupakan sarana penting untuk
memilih wakil-wakil rakyat yang benar-benar akan bekerja mewakili mereka dalam
proses pembuatan kebijakan negara. Pemilihan umum diikuti oleh partai-partai
politik. Partai-partai politik mewakili kepentingan spesifik warganegara.
Kepentingan-kepentingan seperti nilai-nilai agama, keadilan, kesejahteraan,
nasionalisme, antikorupsi, dan sejenisnya kerap dibawakan partai politik
tatkala mereka berkampanye. Sebab itu, sistem pemilihan umum yang baik adalah
at masyarakat, agar terwakili dalam proses pembuatan kebijakan neglen
menyebutkan sistem yang mampu mengakomodasi kepentingan-kepentingan yang berbeda
di tingk pengertian sempit sistem pemilihan umum adalah “…cara dengan mana
pemilih dapat mengekspresikan pilihan politiknya melalui pemberian suara, di
mana suara tersebut ditransformasikan menjadi kursi di parlemen atau pejabat
publik.
Definisi lain diberikan oleh Matias Iaryczower and Andrea
Mattozzi dari California Institute of Technology. Menurut mereka, yang dimaksud
dengan sistem pemilihan umum adalah “…menerjemahkan suara yang diberikan saat
Pemilu menjadi sejumlah kursi yang dimenangkan oleh setiap partai di dewan
legislatif nasional. Dengan memastikan bagaimana pilihan pemilih terpetakan
secara baik dalam tiap kebijakan yang dihasilkan, menjadikan sistem pemilihan
umum sebagai lembaga penting dalam demokrasi perwakilan.
Melalui dua definisi sistem pemilihan umum yang ada, dapat
ditarik konsep-konsep dasar sistem pemilihan umum seperti : transformasi suara
menjadi kursi parlemen atau pejabat publik, memetakan kepentingan masyarakat,
dan keberadaan partai politik. Sistem pemilihan umum yang baik harus
mempertimbangkan konsep-konsep dasar tersebut.
Donald L. Horowitz menyatakan pemilihan sistem pemilihan
umum harus mempertimbangkan hal-hal berikut:
- Perbandingan Kursi dengan Jumlah Suara
- Akuntabilitasnya bagi Konstituen (Pemilih)
- Memungkinkan pemerintah dapat bertahan
- Menghasilkan pemenang mayoritas
- Membuat koalisi antaretnis dan antaragama
- Minoritas dapat duduk di jabatan publik
Pertimbangan yang diberikan Horowitz menekankan pada aspek
hasil dari suatu pemilihan umum. Hal yang menarik adalah, sistem pemilu yang
baik mampu membuat koalisi antaretnis dan antaragama serta minoritas dapat
duduk di jabatan publik. Ini sangat penting di negara-negara multi etnis dan
multi agama.
Pertimbangan lain dalam memilih sistem pemilihan umum juga
diajukan Andrew Reynold, et.al. Menurut mereka, hal-hal yang patut
dipertimbangkan dalam memilih sistem pemilihan umum adalah:
1.
Perhatian
pada Representasi
Representasi (keterwakilan) yang
harus diperhatikan adalah kondisi geografis, faktor ideologis, situasi partai politik
(sistem kepartaian), dan wakil rakyat terpilih benar-benar mewakili pemilih
mereka.
2.
Memungkinkan
Perdamaian
Masyarakat pemilih punya latar
belakang yang berbeda, dan perbedaan ini bisa diperdamaikan melalui hasil
pemilihan umum yang memungkinkan untuk itu.
3.
Memfasilitasi
Pemerintahan yang Efektif dan Stabil
Sistem pemilu mampu menciptakan
pemerintahan yang diterima semua pihak, efektif dalam membuat kebijakan.
4.
Pemilih
Mampu Mengawasi Wakil Terpilih
Sistem pemilu yang baik memungkinkan
pemilih mengetahui siapa wakil yang ia pilih dalam pemilu, dan si pemilih dapat
mengawasi kinerjanya.
5.
Mendorong
Partai Politik Bekerja Lebih Baik
Sistem pemilu yang baik mendorong
partai politik untuk memperbaiki organisasi internalnya, lebih memperhatikan
isu-isu masyarakat, dan bekerja untuk para pemilihnya.
6.
Mempromosikan
Oposisi Legislatif
Sistem pemilu yang baik mendorong
terjadinya oposisi di tingkat legislatif, sebagai bentuk pengawasan DPR atas
pemerintah.
7.
Mampu
Membuat Proses Pemilu Berkesinambungan
Sistem pemilu harus bisa dipakai
secara berkelanjutan dan memungkinkan pemilu sebagai proses demokratis yang
terus dipakai untuk memilih para pemimpin.
8.
Memperhatikan
Standar Internasional
Standar internasional ini misalnya
isu HAM, lingkungan, demokratisasi, dan globalisasi ekonomi.
Secara umum, Andrew Reynolds, et.al. mengklasifikasikan
adanya 4 sistem pemilu yang umum dipakai oleh negara-negara di dunia, yaitu:
a. Proporsianal
Dasar pemikiran Proporsional adalah kesadaran untuk
menerjemahkan penyebaran suara pemilih bagi setiap partai menurut proporsi
kursi yang ada di legislatif. Dalam sistem ini ada kelebihan dan kekurangannya.
Kelebihan secara konsisten mengubah setiap suara menjadi
kursi yang dimenangkan, dan sebab itu menghilangkan “ketidakadilan” seperti
sistem Mayoritas/Pluralitas yang “membuang” suara kalah.sedangkan kekurangannya
: Mampu menyebabkan fragmentasi partai-partai politik, di mana partai minoritas
mampu memainkan peran besar dalam tiap koalisi yang dibuat.
b. Mixed/Campuran
Sistem Campuran bertujuan memadukan ciri-ciri positif yang
berasal dari Mayoritas/Pluralitas ataupun Proporsional. Suara diberikan oleh
pemilih yang sama dan dikontribusikan pada pemilihan wakil rakyat di bawah
kedua sistem tersebut.
c. Mayoritas/Pluralitas
Mayoritas/Pluralitas berarti penekanan pada suara terbanyak
(Mayoritas) dan mayoritas tersebut berasal dari aneka kekuatan (Pluralitas).
d. Other/Lainnya
Sebagai tambahan bagi Mayoritas/Pluralitas, Proporsional,
dan Sistem Campuran, adalah pula terdapat sejumlah sistem lain yang tidak
termasuk ke dalam kategori ini. Kategori itu antaranya :
-
Single Non Transferable Vote, yaitu setiap pemilih memiliki satu suara bagi
tiap calon.
-
Limited Vote, yaitu sistem Mayoritas/Pluralitas yang digunakan untuk
distrik-distrik dengan lebih dari satu wakil.
D.
Syarat Pemilu Demokratis
Disepakati bahwa pemilu merupakan sarana demokrasi untuk
membentuk kepemimpinan negara. Dua cabang kekuasaan negara yang penting, yaitu
lembaga perwakilan rakyat ( badan legislatif) dan pemerintah (badan eksekutif),
umumnya dibentuk melalui pemilu. Walau pemilu merupakan sarana demokrasi,
tetapi belum tentu mekanisme penyelenggaraannya pun demokratis. Sebuah pemilu
yang demokratis memiliki beberapa persyaratan.
Pertama, pemilu harus bersifat kompetitif,
artinya peserta pemilu baik partai politik maupun calon perseorangan harus
bebas dan otonom. Baik partai politik yang sedang berkuasa, maupun
partai-partai oposisi memperoleh hak -hak politik yang sama dan dijamin
oleh undang – undang (UU), seperti kebebasan berbicara, mengeluarkan pendapat,
berkumpul dan berserikat.
Kedua, pemilu harus diselenggarakan
secara berkala. Artinya pemilihan harus diselenggarakan secara teratur
dengan jarak waktu yang jelas. Misalnya setiap empat, lima, atau tujuh tahun
sekali. Pemilihan berkala merupakan mekanisme sirkulasi elit, dimana pejabat
yang terpilih bertanggung jawab pada pemilihnya dan memperbaharui mandat yang
diterimanya pada pemilu sebelumnya.
Ketiga, pemilu haruslah inklusif. Artinya
semua kelompok masyarakat baik kelompok ras, suku, jenis kelamin, penyandang
cacat, lokalisasi, aliran ideologis, pengungsi dan sebagainya harus memiliki
peluang yang sama untuk berpartisipasi dalam pemilu. Tidak ada satu kelompok
pun yang didiskriminasi oleh proses maupun hasil pemilu.
Keempat, pemilih harus diberi keleluasaan
untuk mempertimbangkan dan mendiskusikan alternatif pilihannya dalam suasana
yang bebas, tidak dibawah tekanan, dan akses memperoleh informasi yang luas.
Keterbatasan memperoleh informasi membuat pemilih tidak memiliki dasar pertimbangan
yang cukup dalam menetukan pilihannya.
Kelima, penyelenggara pemilu yang tidak
memihak dan independen. Penyelenggaraan pemilu sebagian besar adalah kerja
teknis. Seperti penentuan peserta pemilu, Pembuatan kertas suara, kotak suara,
pengiriman hasilpemungutan suara pada panitia nasional, penghitungan suara,
pembagian cursi dan sebagainya.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari
penjelasan-penjelasan dan opini-opini yang penulis sajikan dalam makalah ini,
dapat ditarik beberapa kesimpulan antara lain :
1. Pemilu adalah sarana pelaksanaan
kedaulatan rakyat dalam negara kesatuan RI yang berdasarkan Pancasila dan UUD.
2. pemilu indonesia tahun 1955 merupakan pemilu Indonesia
yg pertama dalam sejarah bangsa Indonesia yang waktu itu Republik Indonesia
berusia 10 tahun.
3.
Terdapat empat sistem yang
dikenal dalam pemilihan umum, yaitu Proporsianal, Mixed/Campuran, Mayoritas/Pluralitas, dan
Other (seperti : Single Non Transferable Vote dan Limited Vote.
B.
Saran
Pembahasan makalah ini sangatlah sederhana,secara
keseluruhan makalah ini sudah cukup menggambarkan tentang pemilu. Oleh karena
itu kepada pembaca makala ini agar kiranya berkenan memperbaiki makalah ini
agar lebih menarik dan Interaktif. Sebaiknya bagi para pemilih agar memilih
calon legisltif yang jujur dan dapat dipercaya dengan baik,karna dengan itulah
Negara kita akan tetap maju di masa yang akan datang . Jangan sekali-kali memilih
calon yang salah, karma akan berakibat fatal bagi Negara kita sendiri .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar